PENAFSIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
JIKA 2 NEGARA MELAKUKAN PERJANJIAN (BILATERAL) ATAU BEBERAPA NEGARA MELAKUKAN PERJANJIAN (MULTILATERAL), BAHASA APAKAH YANG DIGUNAKAN?
CONTOH
– PIAGAM PBB, DISUSUN DALAM 5 BAHASA (CINA, PERANCIS, RUSIA, INGGRIS, DAN SPANYOL) DAN DITETAPKAN BAHWA KELIMA NASKAH SAMA OTENTIKNYA (PASAL 111)
– KONVENSI-KONVENSI ILO, BIASANYA DIBUAT DALAM BAHASA INGGRIS DAN SPANYOL
ATURAN UMUM
Viena Convention on the Law of Treaties 1969, Pasal 33:
- Apabila suatu perjanjian disahkan dalam beberapa bahasa, maka naskah tersebut sama sahihnya dalam setiap bahasa kecuali perjanjian tersebut menentukan dan disepakati para peserta bahwa hanya satu naskah yang harus berlaku dalam hal timbulnya silang pendapat.
- Istilah-istilah dari perjanjian harus dianggap memiliki arti yang sama dalam setiap naskah.
- Suatu penafsiran yang diberikan harus yang paling sesuai dengan naskah-naskah itu berkenan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut
ATURAN TAMBAHAN
KONFERENSI DIPLOMATIK YANG MENGHASILKAN SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL MENYADARI BAHWA BANYAK KELEMAHAN DALAM NASKAH, SEHINGGA BIASANYA DIBUAT ATURAN TAMBAHAN, UMUMNYA DALAM BENTUK PROTOCOL, FINAL ACT ATAU PROCES-VERBAL
Pasal 31 Ayat 1 Konvensi Wina:“suatu perjanjian harus ditafsirkan dengan itikad baik sesuai dengan makna wajar yang diberikan padistilah itu dalam hubungan kata-kata dan mengingat tujuan serta maksudnya.”
LEMBAGA PENAFSIR
SECARA UMUM PENAFSIRAN SUATU PERJANJIAN DILAKUKAN OLEH:
- BADAN YANG DITETAPKAN DALAM PERJANJIAN TERSEBUT (ORGAN-ORGAN TEKNIS INTERNASIONAL – ILO – , DIREKTUR EKSEKUTIF DAN DEWAN GUBERNUR SUATU ORGANISASI INTERNASIONAL – IMF )
- MAHKAMAH INTERNASIONAL (Pasal 36 Statuta),
- KOMITE AHLI HUKUM AD HOC
ALIRAN DALAM PENAFSIRAN
Dalam Hukum Internasional dikenal tiga school of thoughts” aliran/approach mengenai interpretasi, yaitu :
- Aliran yang berpegang pada kehendak para pembuat perjanjian itu. Aliran ini menggunakan secara luas “preparatory work/travaux preparatories” pekerjaan pendahuluan dan bukti-bukti yang menggambarkan kehendak para pihak.
- “Textual school”, yang menghendaki bahwa kepada naskah perjanjian hendaknya diberikan arti yang lazim dan terbaca dari kata-kata itu (ordinary and apparent meaning of the words). Jadi unsur pentingnya adalah naskah perjanjian itu dan kemudian kehendak para pihak pembuat perjanjian serta obyek dan tujuan dari perjanjian itu.
- “Teleogical thought”, cara penafsiran ini menitik beratkan pada interpretasi dengan melihat obyek dan tujuan umum dari perjanjian itu yang berdiri sendiri terlepas dari kehendak semula pembuat perjanjian itu. Dengan demikian naskah suatu perjanjian dapat diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai atau sejalan dengan kehendak semula daripada pembuat perjanjian.